Top Menu

Aksi Diam-Diam Warga Bangkitkan Semangat Nasionalisme Jelang 17 Agustus

 MADYA FM - Saat mentari masih enggan naik tinggi dan burung-burung baru saja berkicau di dahan jambu, suasana tampak seperti biasa, teduh, dan sederhana. Tidak ada tanda-tanda keramaian, tidak terdengar musik perayaan, tidak pula terlihat baliho besar menyambut hari kemerdekaan. Namun diam-diam, di balik pagar-pagar bamboo dan halaman berumput rapi, semangat besar tengah dirajut oleh tangan-tangan warga yang tidak banyak bicara.

Bukan dalam bentuk pesta, bukan pula dalam bentuk lomba yang riuh. Warga desa ini memilih cara yang senyap, namun penuh makna: mengibarkan sang saka merah putih di setiap rumah, di setiap sudut jendela, tanpa instruksi, tanpa seruan tanpa kamera. Hanya niat tulus, cinta tanah air, dan semangat gotong royong yang mendorong mereka.

Bendera-bendera itu muncul seperti fajar perlahan tapi pasti. Mulanya hanya satu dua rumah yang memasang. Esoknya deretan bendera membentang hingga ke ujung desa. Hingga akhirnya, pada suatu pagi di desa Rejosari Kecamatan Sawahan Kabupaten Madiun telah menjelma menjadi hamparan merah putih yang membanggakan.

Tidak ada pemimpin upacara, tidak ada coordinator kegiatan. Gerakan ini murni datang dari hati. “Kami hanya ingin mengenang perjuangan para pahlawan dengan cara kami sendiri”, ucap salah satu warga yang tinggal di daerah tersebut.

Dari situlah semuanya bermula. Warga mulai saling mengingatkan, saling membantu membuat tiang, meminjam alat, bahkan membuat hiasan dari barang bekas untuk memperindah lingkungan. Yang muda membantu yang tua, yang tidak mempunyai bendera juga dipinjami. Tidak ada yang merasa paling berjasa, karena semuanya bergerak sebagai satu kesatuan rakyat indonesia yang mencintai negerinya.

Menariknya, gerakan ini tidak dipublikasikan di media sosial. Tidak satu pun warga sibuk mengambil foto atau membuat video viral. Mereka lebih memilih fokus pada makna, bukan sorotan. Justru karena itulah, kabar ini menyebar dari mulut ke mulut dan menginspirasi desa-desa lain untuk melakukan hal serupa.

Apa yang dilakukan warga Desa Rejosari adalah pengingat bahwa kemerdekaan tidak hanya dirayakan dengan kemeriahan, tetapi juga bisa dikenang lewat ketulusan dan kebersamaan. Dalam kesederhanaan, mereka menunjukkan bahwa nasionalisme tidak pernah hilang hanya kadang tertidur, menunggu dibangkitkan dengan cara yang paling jujur.

Di tengah zaman yang serba cepat, dimana makna sering dikalahkan oleh tampilan, Rejosari memberi contoh bahwa cinta tanah air tidak perlu dipertontonkan secara megah untuk menjadi berarti. Justru dalam tindakan yang tenang dan kolektif itulah, semangat kebangsaan menemukan wujudnya yang paling murni tanpa kebisingan, tanpa sorotan, tanpa pamrih.

Aksi ini bukan hanya soal memasang bendera. Namun, bentuk pendidikan diam-diam untuk generasi muda, bahwa nasionalisme bukan hanya tema lomba Agustusan, bukan hanya jargon dalam upacara, tetapi nilai hidup yang ditanam dan diwariskan. Bahwa menjadi warga negara yang baik tidak harus menunggu perintah, cukup dimulai dari kesadaran.

Barangkali, Indonesia butuh banyak seperti Rejosari. Bukan dalam bentuk nama desa tetapi dalam bentuk nilai gotong royong, kesadaran bersama, dan cinta tanah air yang tumbuh dari akar rumput. Karena sejatinya, kemerdekaan bukan hanya tentang apa yang telah kita capai, tetapi bagaimana kita merawatnya, hari demi hari, tahun demi tahun, dengan hati yang jujur dan tangan yang ringan membantu sesama.

Rejosari mengingatkan kita bahwa nasionalisme bisa tumbuh dimana saja: diantara pagar bamboo, dibawah langit desa, di balik pintu rumah yang terbuka setiap pagi. Kadang, yang kita butuhkan bukan gebyar perayaan, tetapi ketulusan untuk menjaga merah putih tetap berkibar bukan hanya di tiang, tapi juga di hati.


Copyright © RADIO MADYA FM. Designed by OddThemes