MADYA FM - Kota menyimpan dua wajah. Satu yang bersinar di pusatnya dengan jalan-jalan yang halus, lampu taman yang gemerlap, dan caffe-caffe yang tidak pernah sepi dari tawa. Tetapi ada pula wajah yang lain: suram, sunyi, dan seringkali dilupakan. Di sanalah, luka kota diam-diam menganga.
Pagi itu, kabut masih menggantung di langit barat kota ketika truk-truk besar datang satu per satu. Bukan mengangkat mimpi, melainkan mengantar sisa-sisa kehidupan: kantong plastik yang robek, sisa makanan basi, botol-botol kosong, dan segala sesuatu yang telah dianggap tidak berguna. Di antara tumpukan itu, ada tangan-tangan manusia yang bekerja dalam diam, seolah menyambut limbah dengan ketabahan yang tidak wajar.
“Yang penting masih bisa makan hari ini”, ujar seorang lelaki tua sambil menyeka keringat pelipisnya. Di matanya tidak tampak keluhan, hanya garis-garis lelah yang terlalu lama dibiarkan menetap.
Tidak ada yang istimewa di tempat ini menurut sebagian orang. Tetapi di sinilah ada sebagian orang bertahan hidup, membangun keseharian dari apa yang dibuang. Mereka tinggal bukan karena pilihan, tapi karena keadaan telah memaksa.
Belum banyak yang tahu tempat ini. Tidak ada namanya di peta wisata, tidak ada fotonya di brosur kota. Tetapi tempat ini nyata, berdenyut, dan menunggu untuk dilihat.
Tempat ini adalah TPA Winongo, sebuah tempat pembuangan akhir yang berada di sisi barat Kota Madiun, cukup tersembunyi dari ingatan kolektif warganya. Tetapi di sanalah, sebagian nyawa bertahan setiap harinya.
TPA Winongo bukan hal baru. Bahkan sudah puluhan tahun kawasan ini menjadi titik akhir perjalanan sampah kota. Sudah banyak janji yang mampir ke telinga warga sini. Janji relokasi, janji bantuan, janji perbaikan sanitasi.
Sementara di pusat Madiun, pembangunan terus berjalan. Taman-taman kota dipercantik, lampu-lampu jalan dipasang dengan hiasan artistik, dan mural warna-warni menghiasi dinding publik, sampai disebut sebagai “Madiun Kota Sejuta Bunga”.
Tetapi di ujung barat kota, bunga-bunga itu tidak pernah sampau. Di Winongo, yang tumbuh bukan mawar atau melati, tetapi ironi. Kota ini tumbuh, tapi tidak ke semua arah. Ada yang tertinggal jauh, nyaris tidak terdengar.
Kota yang baik bukan kota yang hanya membanggakan estetiknya. Kota yang baik adalah kota yang mau menatap lukanya, menyentuhnya, lalu merawatnya.
TPA Winongo bukan hanya tempat sampah. Namun, cermin bagi kita semua. Tentang bagaimana sebuah sistem bisa melupakan sebagian warganya. Tentang bagaimana pembangunan bisa menjadi timpang. Tentang bagaimana manusia bisa bertahan meski di tempat yang dianggap tidak layak bagi kehidupan.
Mungkin saatnya kota menoleh ke ujung baratnya. Bukan untuk sekadar menambal luka, tetapi untuk benar-benar menyembuhkannya.
Selama pembangunan masih berat sebelah, selama kebijakan hanya turun ke pusat dan tidak pernah sampai ke batas, maka luka itu akan tetap ada tersembunyi, tetapi terus menganga. Kita tidak bisa berharap perubahan terjadi jika kita bahkan enggan menoleh.
Mungkin kota tidak perlu menjadi sempurna. Tetapi kota harus adil. Kota harus hadir bagi semua. Termasuk bagi mereka yang tidak pernah tercatat di berita pagi, tidak pernah dijadikan latar belakang foto wisata.
Mungkin, justru dari tempat seperti TPA Winongo, kita belajar satu hal penting bahwa keberadaan sebuah kota bukan diukur dari indahnya taman atau megahnya gedung, tetapi dari seberapa dalam peduli pada mereka yang paling terluka.