MADYA FM - Bau kencur, kopi hitam yang menari di udara pagi, denting uang logam, dan celoteh para pedagang memenuhi udara Pasar Sambirejo. Sekilas, semuanya tampak biasa. Tapi jika mau berhenti sejenak, menepi dari langkah tergesa dan mendengar lebih dalam, terdapat cerita-cerita yang tidak tercantum di nota transaki kisah-kisah kehidupan yang tumbuh di balik etalase.
“Orang kira kami Cuma jualan, padahal kami ini seperti pameran dalam panggung hidup” ujar penjual di pasar sambirejo tersebut, sembari menimbang kunyit di kios rempah-rempahnya yang sudah berdiri lama. “Pagi-pagi sebelum pembeli datang, kami saling tuka kabar, saling bantu. Pasar ini bukan cuman tempat cari uang tetapi rumah besar kami.
Di lorong sempit antara kios sayur dan ayam potong, suara tukang sol sepatu terdengar memanggil anak-anak kecil yang menjatuhkan sandalnya. Dengan tangan kasar penuh lem dan benang, ia mengambilnya alas kaki itu dengan senyum, tanpa meminta bayaran.
“kalau soal untung, ya kadang cukup, kadang pas-pasan. Tapi kalau soal hati, saya dapat banyak”, ujarnya sambil tertawa.
Pasar Sambirejo tidak hanya menjual barang tetapi menyimpan sejarah, menyambung silaturahmi, dan menjadi tempat lahirnya ratusan cerita kecil yang tidak tertulis. Setiap kios adalah panggung bagi tokoh-tokoh nama besar, tetapi penuh makna.
Namun, zaman terus berubah. Di sisi utara pasar, tiga kios tutup dalam dua bulan terakhir. Sebagian lain menyerah karena anak-anak mereka memilih bekerja di kota.
Setiap pagi, suara-suara pasar saling bersahutan. Ada yang memanggil, menawar, tertawa, bahkan mengeluh. Tapi di balik itu semua, mereka adalah bagian dari simfoni kehidupan yang jujur dan apa adanya. Sebuah dunia di mana kerja keras tidak hanya dihitung dari untung, tetapi juga dari ketulusan.
Bagi banyak orang, Pasar Sambirejo hanya sebuah tempat. Tetapi bagi mereka yang berjualan dan tumbuh di dalamnya., pasar adalah hidup itu sendiri dengan segala detak dan diamnya, dengan tawa dan diam-diam luka.
Pasar Sambirejo adalah potret kecil dari Indonesia yang tidak selalu tampak di permukaan. Menyimpan nilai-nilai yang perlahan tergerus zaman: kebersahajaan, gotong-royong, kesetiaan pada kerja, dan cara manusia saling memanusiakan.
Dalam dunia yang semakin digital, di mana segalanya bisa dipesan lewat ponsel dan diantar tanpa sapaan, pasar ini menawarkan sesuatu yang tidak tergantikan sentuhan manusia. Di sinilah, kata-kata seperti “utang dulu ya, Bu”, “jangan lupa sarapan”, dan “gimana kabar suami?” masih terdengar tulus, bukan basa-basi.
Dan selama suara-suara itu masih terdengar suara tertawa, suara teriakan harga, suara gelak di antara kepenatan Pasar Sambirejo belum mati. Hanya butuh lebih banyak telinga yang mau mendengar, lebih banyak mata yang mau melihat lebih dalam dari sekadar harga sayur hari ini.
Mungkin, saat berjalan melewatinya lain kali, berhentilah sejenak. Pandanglah lebih lama etalase yang biasa saja itu. Karena bisa jadi, di balik botol kecap dan tumpukan tempe, ada kisah yang sedang menunggu untuk di dengar.